“Mbah….
Boleh dong saya tahu siapa cewek Mbah yang namanya Mutiara itu?” Tanyaku
selanjutnya.
“Apa
untungnya bagimu kalau tahu siapa dia?” Mbah Ponijan bertanya balik.
“Ya
setidak-tidaknya saya tahu dimana dia, atau siapa dia sehingga biar kutahu
seberapa panteskas mbah untuk dia atau sebarapa layakkah dia itu mbah” jawabku
tegas. Sebab saya sadar, menghadapi orang yang agak sableng kayak Mbah Ponijan
ini juga harus main logika dan juga hati.
“hmmm….
Dia itu jauh tapi dekat. Jauh karena raganya di negeri antah berantah yang si
mbah sendiri juga belum pernah ke sana. Dekat sebab dia memang di hati ini
tersimpan dalam sebuah kotak yang manis dan indah. Dekat sebab kami hidup di
dua dunia. Di dunia nyata dia sangatlah jauh…. Jauh sekali… namun di dunia maya
kami sangatlah dekat. Walaupun begitu, dekat kami tetap ada batas. Sebab Allah
yang membatasinya. Trus… masalah pantes atau tidak pantes maka buka aja di
qur’an surat An-Nur ayat 26, di situ jelas kok. Jadi nggak usah dipikirinlah
masalah pantes atau tidak pantes, sebab yang menentukan pantes atau tidak juga bukan kita. Tapi Gusti Allah.
Yang perlu kita lakukan adalah terus meningkatkan kualitas hidup kita.” Panjang
lebar Mbah Ponijan menjelaskan.
“Tapi
mbah… menikahkan bukan hanya sekedar mencintai… menikah juga butuh persiapan,
butuh uang, butuh rumah, butuh fasilitas lain dan banyak lagilah mbah. Sebab
nantinya saat berumah tangga bukankah harta juga mempengaruhi kebahagiaan?”
bantahku dengan logikaku.
Mbah
Ponijan diam sesaat sambil menyeruput Kopi Cappucino kesukaannya.
“Heh…
Lapendos… logikamu itu benar menurut kacamatamu. Menurut pengalaman pahitmu
dalam rumah tanggamu. Sebab dari semula kamu salah langkah, salah memulai
langkah. Kamu ukur dari semula karena kecantikan istrimu dulu dan juga kamu
tawarkan padanya hartamu yang sebenarnya tak seberapa itu. Kamu memilih istrimu
dulu bukan karena agamanya. Tapi karena cantiknya. Dan dia memilih kamu dulu
juga barang kali bukan karena kamu itu bagus agamamu. Kalian itu sebenarnya sama-sama
rusaknya. Sama-sama nggak benernya. Makanya kamu menilai pernikahan dan cinta
itu seperti itu.” Mbah Ponijan meneruskan.
“Lho
mbah… apa salah pandangan saya? sebab kalau nggak ada duit bagaimana kita bisa
menghidupi keluarga kita? Bagaimana bisa kita tenang di rumah saat periuk di
dapur tengkurap? Bagaimana mungkin kita bisa tenang dan sakinah keluarga kita
di saat duit di dompet kosong?” sanggahku.
“hemm…
yang kamu katakan itu ndos benar memang tapi dari sudut pandang yang berbeda.
Kalau dalam dirimu nilai agamamu kamu tinggikan maka harta itu akan menyusul.
Islam menuntut kamu untuk bekerja keras seolah-olah kowe iku hidup sampai
seribu tahun. Tapi jangan lupa, Islam juga menuntut kamu untuk beribadah
seolah-olah kamu mati besok pagi. Jadi semua harus seimbang. Nggak boleh harta
tok yang kamu jadikan standar kebahagiaan. Agama dan harta itu juga harus
seimbang. Semua harus equilibrium. Kalau timpang satu,.. ya kayak kamu gini
kejadiannya. Kalau udah begini aja kamu baru ingat Tuhanmu. Walau benar pendidikanmu
tinggi, tapi itu juga tidak menjamin kamu bijak. Makanya kalau berdoa itu minta
yang utamanya adalah kebaikan bagimu di dunia dan di akhirat.” Kata Mbah
Ponijan.
“Iya
ya mbah… lha sekarang pendos mau nanya nih sama Mbah… Mbah kok masih sendiri
coba? Kenapa mbah nggak menikah gitu…. Umur mbah dah mau maghrib lho… dah bau
tanah lagi. Hehehe… maaf mbah… becanda.” Kataku nggak mau kalah.
“Inilah
yang membedakan mbah dengan kamu Pendos. Kalau mbah lagi nunggu saatnya tiba…
sambil menunggu mbah mempersiapkan segala sesuatunya, yang utamanya juga
memperbaiki diri, sebab mbah berharap mbah bisa balance nantinya dengan si
Mutiara. Lha kalau kamu? Sendirian gitu tanpa arti…. Walau kamu katakan
‘ternyata dalam kesendirian itu terdapat keindahan’, bagi mbah itu omong
kosong, sendiri ya sendiri. Indah ya indah. Kesepian ya kesepian… bahasamu itu
kan hanya apologetik kamu saja. Kamu ingin mencari pembelaan atas kondisimu…
maaf, mbah nggak bela kamu gitu… hehehe. Itukan bahasa orang-orang yang tak
laku-laku. Itu juga kan bahasanya orang yang ragu-ragu. Walau apapun alasanmu…
boleh jadi kamu beralasan karena takut dosalah atau apalah… yang jelas Islam
menyuruh kamu menikah kalau kamu mampu, kalau nggak mampu ya puasa ajalah.
Islam nggak menyuruh kamu hidup dalam kesendirian, sebab dalam kesendirian itu
biasanya banyak setannya. Kamu tahu bahwa Islam kamu itu baru separuhnya, sama
seperti saya. sebab kita sendiri belum menikah. Mengapa begitu? Sebab kehidupan
dalam pernikahan itu adalah setengah ibadah kepada Allah. Makanya mbah nggak
mau setengah-setengah, mbah mau penuh, mau kaffah… sebab cobaan yang paling
banyak itu di pernikahan, kalau kita lulus maka kita penuh Islamnya.” Kata Mbah
Ponijan panjang lebar.
“Trus
mbah…. Memangnya kapan sih Mbah mau menikah? Kok sudah yakin kali gitu!”
Tanyaku cepat.
“Hehehehe…
tunggu aja tanggal mainnya. Mau tau aja lo ah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar