Selasa, 29 Mei 2012

PERBAIKILAH STANDARDMU!!!

 
“Mbah…. Boleh dong saya tahu siapa cewek Mbah yang namanya Mutiara itu?” Tanyaku selanjutnya.
“Apa untungnya bagimu kalau tahu siapa dia?” Mbah Ponijan bertanya balik.
“Ya setidak-tidaknya saya tahu dimana dia, atau siapa dia sehingga biar kutahu seberapa panteskas mbah untuk dia atau sebarapa layakkah dia itu mbah” jawabku tegas. Sebab saya sadar, menghadapi orang yang agak sableng kayak Mbah Ponijan ini juga harus main logika dan juga hati.
“hmmm…. Dia itu jauh tapi dekat. Jauh karena raganya di negeri antah berantah yang si mbah sendiri juga belum pernah ke sana. Dekat sebab dia memang di hati ini tersimpan dalam sebuah kotak yang manis dan indah. Dekat sebab kami hidup di dua dunia. Di dunia nyata dia sangatlah jauh…. Jauh sekali… namun di dunia maya kami sangatlah dekat. Walaupun begitu, dekat kami tetap ada batas. Sebab Allah yang membatasinya. Trus… masalah pantes atau tidak pantes maka buka aja di qur’an surat An-Nur ayat 26, di situ jelas kok. Jadi nggak usah dipikirinlah masalah pantes atau tidak pantes, sebab yang menentukan pantes  atau tidak juga bukan kita. Tapi Gusti Allah. Yang perlu kita lakukan adalah terus meningkatkan kualitas hidup kita.” Panjang lebar Mbah Ponijan menjelaskan.
“Tapi mbah… menikahkan bukan hanya sekedar mencintai… menikah juga butuh persiapan, butuh uang, butuh rumah, butuh fasilitas lain dan banyak lagilah mbah. Sebab nantinya saat berumah tangga bukankah harta juga mempengaruhi kebahagiaan?” bantahku dengan logikaku.
Mbah Ponijan diam sesaat sambil menyeruput Kopi Cappucino kesukaannya.
“Heh… Lapendos… logikamu itu benar menurut kacamatamu. Menurut pengalaman pahitmu dalam rumah tanggamu. Sebab dari semula kamu salah langkah, salah memulai langkah. Kamu ukur dari semula karena kecantikan istrimu dulu dan juga kamu tawarkan padanya hartamu yang sebenarnya tak seberapa itu. Kamu memilih istrimu dulu bukan karena agamanya. Tapi karena cantiknya. Dan dia memilih kamu dulu juga barang kali bukan karena kamu itu bagus agamamu. Kalian itu sebenarnya sama-sama rusaknya. Sama-sama nggak benernya. Makanya kamu menilai pernikahan dan cinta itu seperti itu.” Mbah Ponijan meneruskan.
“Lho mbah… apa salah pandangan saya? sebab kalau nggak ada duit bagaimana kita bisa menghidupi keluarga kita? Bagaimana bisa kita tenang di rumah saat periuk di dapur tengkurap? Bagaimana mungkin kita bisa tenang dan sakinah keluarga kita di saat duit di dompet kosong?” sanggahku.
“hemm… yang kamu katakan itu ndos benar memang tapi dari sudut pandang yang berbeda. Kalau dalam dirimu nilai agamamu kamu tinggikan maka harta itu akan menyusul. Islam menuntut kamu untuk bekerja keras seolah-olah kowe iku hidup sampai seribu tahun. Tapi jangan lupa, Islam juga menuntut kamu untuk beribadah seolah-olah kamu mati besok pagi. Jadi semua harus seimbang. Nggak boleh harta tok yang kamu jadikan standar kebahagiaan. Agama dan harta itu juga harus seimbang. Semua harus equilibrium. Kalau timpang satu,.. ya kayak kamu gini kejadiannya. Kalau udah begini aja kamu baru ingat Tuhanmu. Walau benar pendidikanmu tinggi, tapi itu juga tidak menjamin kamu bijak. Makanya kalau berdoa itu minta yang utamanya adalah kebaikan bagimu di dunia dan di akhirat.” Kata Mbah Ponijan.
“Iya ya mbah… lha sekarang pendos mau nanya nih sama Mbah… Mbah kok masih sendiri coba? Kenapa mbah nggak menikah gitu…. Umur mbah dah mau maghrib lho… dah bau tanah lagi. Hehehe… maaf mbah… becanda.” Kataku nggak mau kalah.
“Inilah yang membedakan mbah dengan kamu Pendos. Kalau mbah lagi nunggu saatnya tiba… sambil menunggu mbah mempersiapkan segala sesuatunya, yang utamanya juga memperbaiki diri, sebab mbah berharap mbah bisa balance nantinya dengan si Mutiara. Lha kalau kamu? Sendirian gitu tanpa arti…. Walau kamu katakan ‘ternyata dalam kesendirian itu terdapat keindahan’, bagi mbah itu omong kosong, sendiri ya sendiri. Indah ya indah. Kesepian ya kesepian… bahasamu itu kan hanya apologetik kamu saja. Kamu ingin mencari pembelaan atas kondisimu… maaf, mbah nggak bela kamu gitu… hehehe. Itukan bahasa orang-orang yang tak laku-laku. Itu juga kan bahasanya orang yang ragu-ragu. Walau apapun alasanmu… boleh jadi kamu beralasan karena takut dosalah atau apalah… yang jelas Islam menyuruh kamu menikah kalau kamu mampu, kalau nggak mampu ya puasa ajalah. Islam nggak menyuruh kamu hidup dalam kesendirian, sebab dalam kesendirian itu biasanya banyak setannya. Kamu tahu bahwa Islam kamu itu baru separuhnya, sama seperti saya. sebab kita sendiri belum menikah. Mengapa begitu? Sebab kehidupan dalam pernikahan itu adalah setengah ibadah kepada Allah. Makanya mbah nggak mau setengah-setengah, mbah mau penuh, mau kaffah… sebab cobaan yang paling banyak itu di pernikahan, kalau kita lulus maka kita penuh Islamnya.” Kata Mbah Ponijan panjang lebar.
“Trus mbah…. Memangnya kapan sih Mbah mau menikah? Kok sudah yakin kali gitu!” Tanyaku cepat.

“Hehehehe… tunggu aja tanggal mainnya. Mau tau aja lo ah”







Tidak ada komentar: