Bismillahirrahmanirrahiim
Jika
aku dan kamu sama-sama berdo’a dan meminta agar suatu saat nanti kita akan
berlabuh dalam tali pernikahan. Akan tetapi ternyata Allah menjawab “TIDAK”.
Lantaskah kita harus marah dan merasa kalah? Apakah kita harus tidak berterima?
Haruskan kita kecewa?
Sebagian
kita boleh jadi akan menjawab, “IYA” aku marah, aku kalah, aku tak terima dan
aku kecewa sebab ternyata dia bukan jodohku. Sebab akulah yang pantas untuk
menikah dengannya dan bukan DIA. Kita mencoba seolah-olah kitalah penentu.
Ke”Aku”an ini berlaku dalam setiap kondisi.
Tapi
ingatlah, siapa sebenarnya pemilik kita atau siapa penentu bagi kita? Yang
jelas, sebagai orang-orang “Beriman”, kita akan berkata “Tentu saja Allah” yang
memiliki kita. Benar, tapi yang menjadi masalah adalah apakah kita sudah
berbuat sebagaimana layaknya diri kita yang bukan memiliki kita?
Jika
kita berpikir, kalau memang diri kita bukanlah milik kita berarti seharusnya kita
harus membiarkan “Sang Pemilik” kita itu untuk berbuat “sesuka hati-Nya” untuk kita.
“Rancangan
Allah adalah rancangan kedamaian dan kebaikan”, inilah kata Allah. Ayat ini
menolong kita untuk berterima atas setiap kondisi yang diberikan si “Pemilik”
tadi kepada kita. Sebab si”Pemilik” tahu
apa yang terbaik bagi “milik-Nya”, “Aku” adalah “milik-Nya”. Jika “Aku”
bersikeras memohon supaya mendapatkan “X”, tetapi si”Pemilik” memberikan “Y”,
sesungguhnya si”Pemilik” tahu bahwa jika “Aku” mendapatkan “X” maka disana akan
ada “Api” yang siap sedia membakar “Aku”.
Allah
tahu apa yang terbaik bagi kita. Ingatlah, sesunguhnya apa yang Allah racangkan
bagi kita adalah sama seperti apa yang kita inginkan jikalau kita tahu ujung
ceritanya.
Jadi
jika kita merasa kalah dengan yang lain dalam hal permohonan kepada Allah,
ketahuilah sesungguhnya kita berada dalam zona detik-detik menunggu
“Kemenangan”.
Dan
semoga kita akan menjadi manusia-manusia yang ikhlas atas segala sesuatu yang
menimpa kita. Kita hanya berdo’a dan Allah jualah yang menentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar